Renewable Energy ENERGY PRIMER
Trending

Energi di Persimpangan Jalan: Sejahtera atau Ramah Lingkungan? (Bagian 2)

Energi di Persimpangan Jalan: Sejahtera atau Ramah Lingkungan? (Bagian 2)

 

Oleh : Hafizh Akbar

Koordinator Wilayah Kommun Yogyakarta dan Mahasiswa Teknik Elektro Universitas Negeri Yogyakarta

 

Hadirnya energi nuklir sebagai rencana pembangunan energi berkelanjutan tentu menjadi momen baru kebangkitan energi berkelanjutan ramah lingkungan yang berbasis kesejahteraan di Indonesia. Penempatan nuklir sebagai solusi terakhir di dalam Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) bukan berarti menempatkan nuklir pada pilihan terakhir ketika sumber energi listrik murah seperti batu bara dan minyak telah habis.

 

Dr. Ir. Tumiran, M.Eng seorang akademisi energi sekaligus anggota Dewan Energi Nasional (DEN) pada webinar Perhimpunan Pelajar Indonesia Se-Dunia menjelaskan bagaimana nuklir dapat menjadi salah satu solusi energy mix pembangunan infrastruktur kelistrikan tahun 2050. Dalam webinar tersebut ia juga menjelaskan bahwa begitu tingginya dampak penggunaan energi nuklir pada pembangunan energi listrik yang berkelanjutan dan ramah lingkungan pada beberapa negara.

 

Berbicara tentang energi berkelanjutan yang ramah lingkungan serta berbasis kesejahteraan maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

 

Pertama, masalah mengenai rendahnya land clearing dan tidak merusak lingkungan. Nuklir merupakan salah satu energi yang memiliki potensi yang besar dengan daya hasil energi yang besar. Penggunaan lahan untuk pembangunan PLTN jika dibandingkan dengan pembangkit listrik lain jauh lebih kecil, sebagai contoh pada PLTA Saguling dengan kapasitas daya pembangkit 700MW membutuhkan kurang lebih 5000 hektar lahan sementara sebuah PLTN di California bernama Diablo Canyon Power Plant dengan daya pembangkit 2256MW hanya membutuhkan lahan sekitar 80 hektar saja.

 

Apalagi dengan adanya rencana pembangunan sebuah pembangkit listrik tenaga thorium (PLTT) jenis TMSR-500 yang akan digarap oleh Thorcon yang berdaya 2060MW hanya memerlukan lahan sekitar 6 hektar.

 

Kedua, penyimpanan dan pengolahan limbah produksi. Limbah tentu menjadi hal yang sangat diperhatikan dalam proyeksi pembangunan energi yang bersih dan berkelanjutan. Ketika kita berdiskusi mengenai limbah pada sebuah pembangkit listrik seharusnya kita tidak hanya bicara tentang sisa hasil produksi sebuah pembangkit, tetapi juga limbah penggunaan material produksi. Majalah Forbes tahun 2018 merilis sebuah berita dari International Renewable Energy Agency menyebutkan bahwasanya limbah dari sebuah pembangkit listrik tenaga surya setiap tahun rata-rata mencapai 250.000 metrik ton. Hal ini jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan limbah yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga nuklir yang hanya 12.000 metrik ton.

 

Selain itu hal yang menjadi persoalan limbah berikutnya pada sebuah pembangkit EBT adalah limbah penyimpanannya (Storage) yang sampai saat ini sangat sulit untuk disimpan dan diolah.

 

Dr. Liem Peng Hong seorang praktisi nuklir di jepang pada webinar Perhimpunan Pelajar Indonesia SeDunia juga menjelaskan bahwasanya limbah dari hasil pengolahan PLTN tidak perlu dikhawatirkan karena dapat diolah dalam sebuah siklus terbuka yang aman bagi lingkungan.

 

Ketiga, ekonomis. Bagaimanapun nilai ekonomis adalah menjadi faktor terpenting jika menginginkan sebuah konsep energi yang berbasis kesejahteraan. Konsumsi listrik Indonesia per kapita tahun 2019 menunjukan angka 1060 kWh, sementara diproyeksikan dalam Rancangan Umum Energi Nasional (RUEN) tahun 2025 akan meningkat sebesar 2.500 kWh.

 

Di Indonesia batu bara masih menjadi tulang punggung sumber pembangkit listrik nasional. Pemerintah setiap tahunnya mensubsidi lebih dari 50 Triliun Rupiah untuk keberlangsungan listrik nasional. Artinya apabila subsidi ini dapat dikurangi dengan mencari pembangkit listrik yang murah dan berkelanjutan maka akan banyak sektor-sektor lain yang bisa dioptimalkan, seperti pendidikan, kesehatan dsb. Dari segi nilai cost production listrik dengan batubara seharga $0.11 hanya nuklirlah yang paling mendekati nilai tersebut.

 

Bob S. Effendi seorang konsultan energi menyebutkan bahwa proyeksi cost production listrik dengan PLTT TMSR-500 diproyeksikan hanya mencapai $0.07. Artinya dari segi ekonomis, nuklir menjadi yang terbaik dalam saingan batubara untuk menciptakan energi berkelanjutan yang ramah lingkungan serta berbasis kesejahteraan.

 

Selain pemaparan diatas yang menjadikan nuklir juga semakin layak untuk dibangun untuk menjadi solusi energi ramah lingkungan yang berbasis kesejahteraan selain ramah ekosistem dan land clearing yang rendah, penyimpanan dan pengolahan limbah yang aman, serta nilai cost production yang rendah adalah bisa dibangun dekat dengan beban serta kemampuan capacity factor atau penyediaan kebutuhan listrik per satuan waktunya cukup tinggi hingga mencapai <70%. Potensi logam tanah jarang monasit yang diproyeksikan sebesar 1,5 miliyar ton dengan potensi thorium yang tinggi serta potensi uranium sebesar 53.000 ton menjadikan pembangunan PLTN dan atau PLTT di Indonesia harus menjadi prioritas proyek pembangunan nasional.

 

Bicara tentang energi kita tidak hanya bicara tentang lampu, tentang kompor atau hanya sebuah kendaraan. Energi memegang peran vital di semua lini kehidupan manusia. Energi menjadi penggerak utama roda perekonomian bangsa. Masih jelas diingatan bagaimana ketika terjadi pemadaman listrik total (Black Out) yang melanda Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan sekitarnya.

 

Keberlangsungan pembangunan PLTN dan atau PLTT di Indonesia hari ini tinggal terkendala dalam proses riweuh-nya politisasi. Sudah seharusnya semua elemen bangsa Indonesia sadar bahwasanya tidak ada pembangunan berkelanjutan tanpa sebuah kesejahteraan energi. Anak muda harus melek politik, melek teknologi serta berani menyampaikan aspirasi melalui tulisan dan lisan untuk keberlanjutan energi ramah lingkungan yang berbasis kesejahteraan, perusahaan listrik, energi, dan tambang harus bersinergi untuk mewujudkan listrik yang murah, dan pemerintah sudah waktunya menciptakan regulasi yang pro kepentingan rakyat, yang mensejahterakan dan

memakmurkan hajat hidup orang banyak. Ketika energi di persimpangan jalan untuk murah atau bersih kita harus memilih bergandengan karena sejatinya yang kita butuhkan energi yang ramah lingkungan untuk mewujudkan kesejahteraan.


Related Articles

0 Komentar

Berikan komentar anda

Back to top button